Waktu untuk IBADAH

profil manajer dan pemimpin pendidikan yang dibutuhkan saat ini

Minggu, 28 November 2010

Untuk menghadapi tantangan dan permasalahan pendidikan nasional yang amat berat saat ini, mau tidak mau pendidikan harus dipegang oleh para manajer dan pemimpin yang sanggup menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan yang ada, baik pada level makro maupun mikro di sekolah.

Merujuk pada pemikiran Rodney Overton (2002) tentang profil manajer dan pemimpin yang dibutuhkan saat ini, berikut ini diuraikan secara singkat tentang 20 profil manajer dan pemimpin pendidikan yang yang dibutuhkan saat ini.

profil manajer

1. Mampu menginspirasi melalui antusiasme yang menular.

Pendidikan harus dikelola secara sungguh-sungguh, oleh karena itu para manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat menunjukkan semangat dan kesungguhan di dalam melaksanakan segenap tugas dan pekerjaanya. Semangat dan kesungguhan dalam bekerja ini kemudian ditularkan kepada semua orang dalam organisasi, sehingga mereka pun dapat bekerja dengan penuh semangat dan besungguh-sungguh.

2. Memiliki standar etika dan integritas yang tinggi.

Penguasaan standar etika dan integritas yang tinggi oleh para manajer atau pemimpin pendidikan tidak hanya terkait dengan kepentingan kepemimpinan dalam organisasi, namun juga tidak lepas dari hakikat pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah usaha untuk menciptakan manusia-manusia yang memiliki standar etika dan kejujuran yang tinggi. Oleh karena itu, pendidikan sudah seharusnya dipegang oleh para manajer (pemimpin) yang memiliki standar etika dan kejujuran yang tinggi, sehingga pada gilirannya semua orang dalam organisasi dapat memiliki standar etika dan kejujuran yang tinggi.

3. Memiliki tingkat energi yang tinggi.

Mengurusi pendidikan sebenarnya bukanlah mengurusi hal-hal yang sifatnya sederhana, karena didalamnya terkandung usaha untuk mempersiapkan suatu generasi yang akan mengambil tongkat estafet kelangsungan suatu bangsa.di masa yang akan datang. Kegagalan pendidikan adalah kegagalan kelanjutan suatu generasi. Untuk mengurusi pendidikan dibutuhkan energi dan motivasi yang tinggi dari para manajer dan pemimpin pendidikan. Pendidikan membutuhkan manajer (pemimpin) yang memiliki ketabahan, daya tahan (endurance) dan pengorbanan yang tinggi dalam mengelola pendidikan.

4. Memiliki keberanian dan komitmen

Saat ini pendidikan dihadapkan pada lingkungan yang selalu berubah-ubah, yang menuntut keberanian dari para manajer (pemimpin) pendidikan untuk melakukan perubahan-perubahan agar bisa beradaptasi dengan tuntutan perubahan yang ada. Selain itu, pendidikan membutuhkan manajer (pemimpin) yang memiliki komitmen tinggi terhadap pekerjaannya. Kehadirannya sebagai manajer (pemimpin) benar-benar dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi kemajuan organisasi, yang didasari rasa kecintaannya terhadap pendidikan.

5. Memiliki tingkat kreativitas yang tinggi dan bersikap nonkonvensional.

Saat ini permasalahan dan tantangan yang dihadapi pendidikan sangat kompleks, sehingga menuntut cara-cara penyelesaian yang tidak mungkin hanya dilakukan melalui cara-cara konvensional. Manajer (pemimpin) pendidikan yang memiliki kreativitas tinggi akan mendorong terjadinya berbagai inovasi dalam praktik-praktik pendidikan, baik pada tataran manjerialnya itu sendiri maupun inovasi dalam praktik pembelajaran siswa.

6. Berorientasi pada tujuan, namun realistis

Tujuan pendidikan berbeda dengan tujuan-tujuan dalam bidang-bidang lainnya. Oleh karena itu, seorang manajer (pemimpin) pendidikan harus memahami tujuan-tujuan pendidikan. Di bawah kepemimpinnanya, segenap usaha organisasi harus diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikan dengan menjalankan fungsi-fungsi manajemen beserta seluruh substansinya. Pencapaian tujuan pendidikan disusun secara realistis, dengan ekspektasi yang terjangkau oleh organisasi, tidak terlalu rendah dan juga tidak terlalu tinggi.

7. Memiliki kemampuan organisasi yang tinggi

Kegiatan pendidikan adalah kegiatan yang melibatkan banyak komponen, yang di dalamnya membutuhkan upaya pengorganisasian secara tepat dan memadai. Bagaimana mengoptimalkan sumber daya manusia yang ada, bagaimana mengoptimalkan kurikulum dan pembelajaran, bagaimana mengoptimalkan sumber dana, dan bagaimana mengoptimalkan lingkungan merupakan hal-hal penting dalam pendidikan yang harus diorganisasikan sedemikian rupa, sehingga menuntut kemampuan khusus dari para manajer (pemimpin) pendidikan dalam mengorganisasikannya.

8. Mampu menyusun prioritas

Begitu banyaknya kegiatan yang harus dilakukan dalam pendidikan sehingga menuntut para manajer (pemimpin) pendidikan untuk dapat memilah dan memilih mana yang penting dan harus segera dilaksanakan dan mana yang bisa ditunda atau mungkin diabaikan. Kemampuan manajer (pemimpin) pendidikan dalam menyusun prioritas akan terkait dengan efektivitas dan efisiensi pendidikan.

9. Mendorong kerja sama tim dan tidak mementingkan diri sendiri, upaya yang terorganisasi.

Kegiatan dan masalah pendidikan yang sangat kompleks tidak mungkin diselesaikan secara soliter dan parsial. Manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat bekerjasama dengan berbagai pihak, baik yang berada dalam lingkungan internal maupun eksternal. Demikian pula, manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat mendorong para bawahannya agar dapat bekerjasama dengan membentuk team work yang kompak dan cerdas, sekaligus dapat meletakkan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi.

10. Memiliki kepercayaan diri dan memiliki minat tinggi akan pengetahuan.

Masalah dan tantangan pendidikan yang tidak sederhana, menuntut para manajer (pemimpin) pendidikan dapat memiliki keyakinan diri yang kuat. Dalam arti, dia meyakini bahwa dirinya memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Dia juga memiliki keyakinan bahwa apa yang dilakukannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, sosial, moral maupun intelektual. Keyakinan diri yang kuat bukan berarti dia lantas menjadi seorang yang “over confidence”, mengarah pada sikap arogan dan menganggap sepele orang lain.. Di samping itu, sudah sejak lama pendidikan dipandang sebagai kegiatan intelektual. Oleh karena itu, seorang manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat menunjukkan intelektualitas yang tinggi, dengan memiliki minat yang tinggi akan pengetahuan, baik pengetahuan tentang manajerial, pengetahuan tentang perkembangan pendidikan bahkan pengetahuan umum lainnya.

11. Sesuai dan waspada secara mental maupun fisik.

Tugas dan pekerjaan manajerial pendidikan yang kompleks membutuhkan kesiapan dan ketangguhan secara mental maupun fisik dari para manajer pendidikan. Beban pekerjaan yang demikian berat dan diluar kapasitas yang dimilikinya dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik. Agar dapat menjalankan roda organisasi dengan baik, seseorang manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat menjaga dan memelihara kesehatan fisik dan mentalnya secara prima. Selain itu, manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat memperhatikan kesehatan mental dan fisik dari seluruh anggota dalam organisasinya.

12. Bersikap adil dan menghargai orang lain.

Dalam organisasi pendidikan melibatkan banyak orang yang beragam karakteristiknya, dalam kepribadian, keyakinan, cara pandang, pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan sebagainya. Kesemuanya itu harus dapat diperlakukan dan ditempatkan secara proporsional oleh manajer (pemimpin). Manajer (pemimpin) pendidikan harus memandang dan menjadikan keragaman karakteristik ini sebagai sebuah kekuatan dalam organisasi, bukan sebaliknya.

13. Menghargai kreativitas

Untuk meningkatkan mutu pendidikan dibutuhkan sentuhan kreativitas dari semua orang yang terlibat di dalamnya. Tidak hanya menajer (pemimpin) yang dituntut untuk berfikir kreatif, tetapi semua orang dalam organisasi harus ditumbuhkan kreativitasnya. Pemikiran kreatif biasanya berbeda dengan cara-cara berfikir pada umumnya. Dalam hal ini, manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat mengakomodasi pemikiran-pemikiran kreatif dari setiap orang dalam organisasi, yang mungkin saja pemikiran-pemikiran itu berbeda dengan sudut pandang yang dimilikinya.

14. Menikmati pengambilan resiko.

Tatkala keputusan untuk berubah dan berinovasi telah diambil dan segala resiko telah diperhitungkan secara cermat. Namun dalam implementasinya, tidak mustahil muncul hal-hal yang berasa di luar dugaan sebelumnya, maka dalam hal ini, manajer (pemimpin) pendidikan harus tetap menunjukkan ketenangan, keyakinan dan berusaha mengendalikan resiko-resiko yang muncul. Jika memang harus berhadapan dengan sebuah kegagalan, manajer (pemimpin) pendidikan harus tetap dapat menunjukkan tanggung jawabnya, tanpa harus mencari kambing hitam dari kegagalan tersebut. Selanjutnya, belajarlah dari pengalaman kegagalan tersebut untuk perbaikan pada masa-masa yang akan datang.

15. Menyusun pertumbuhan jangka panjang

Kegiatan pendidikan bukanlah kegiatan sesaat, tetapi memiliki dimensi waktu yang jauh ke depan. Seorang manajer (pemimpin) pendidikan memang dituntut untuk membuktikan hasil-hasil kerja yang telah dicapai pada masa kepemimpinannya, tetapi juga harus dapat memberikan landasan yang kokoh bagi perkembangan organisasi, jauh ke depan setelah dia menyelesaikan masa jabatannya. Kecenderungan untuk melakukan praktik “politik bumi hangus” harus dihindari. Yang dimaksud dengan “politik bumi hangus” disini adalah praktik kotor yang dilakukan manajer (pemimpin) pendidikan pada saat menjelang akhir jabatannya, misalnya dengan cara menghabiskan anggaran di tengah jalan, atau merubah struktur organisasi yang sengaja dapat menimbulkan chaos dalam organisasi, sehingga mewariskan masalah-masalah baru bagi manajer (pemimpin) yang menggantikannya.

16. Terbuka terhadap tantangan dan pertanyaan.

Menjadi manajer (pemimpin) pendidikan berarti dia akan dihadapkan pada sejumlah tantangan dan permasalahan yang harus dihadapi, merentang dari yang sifatnya ringan hingga sangat berat sekali. Semua itu bukan untuk dihindari atau ditunda-tunda tetapi untuk diselesaikan secara tuntas.

17. Tidak takut untuk menantang dan mempertanyakan.

Selain harus mampu menyelesaikan masalah-masalah yang sudah ada (current problems) secara tuntas, seorang manajer (pemimpin) pendidikan harus memiliki keberanian untuk memunculkan tantangan dan permasalahan baru, yang mencerminkan inovasi dalam organisasi. Dengan demikian, menjadi manajer (pemimpin) pendidikan tidak hanya sekedar melaksanakan rutinitas dan standar pekerjaan baku, tetapi memunculkan pula sesuatu yang inovatif untuk kemajuan organisasi.

18. Mendorong pemahaman yang mendalam untuk banyak orang.

Kegiatan pendidikan menuntut setiap orang dalam organisasi dapat memahami tujuan, isi dan strategi yang hendak dikembangkan dalam organisasi. Manajer (pemimpin) pendidikan berkewajiban memastikan bahwa setiap orang dalam organisasi dapat memahaminya secara jelas, sehingga setiap orang dapat memamahi peran, tanggung jawab dan kontribusinya masing-masing dalam organisasi. Selain itu, manajer (pemimpin) pendidikan harus dapat mengembangkan setiap orang dalam organisasi untuk melakukan perbuatan belajar sehingga organisasi pendidikan benar-benar menjadi sebuah learning organization.

19. Terbuka terhadap ide-ide dan pandangan baru.

Pandangan yang keliru jika pendidikan dipandang sebagai sebuah kegiatan monoton dan rutinitas belaka. Pendidikan harus banyak melahirkan berbagai inovasi yang tidak hanya dibutuhkan untuk kepentingan pendidikan itu sendiri tetapi juga kepentingan di luar pendidikan. Untuk dapat melahirkan inovasi, manajer (pemimpin) pendidikan harus terbuka dengan ide-ide dan pandangan baru, baik yang datang dari internal maupun eksternal, terutama ide dan pandangan yang bersumber dari para pengguna jasa (customer) pendidikan.

20. Mengakui kesalahan dan beradaptasi untuk berubah.

Asumsi yang mendasarinya adalah manajer (pemimpin) pendidikan adalah manusia, yang tidak luput dari kesalahan. Jika melakukan suatu kesalahan, seorang manajer (pemimpin) pendidikan harus memiliki keberanian untuk mengakui kesalahannya tanpa harus mengorbankan pihak lain atau mencari kambing hitam. Lakukan evaluasi dan perbaikilah kesalahan pada masa-masa yang akan datang. Jika memang kesalahan yang dilakukannya sangat fatal, baik secara moral, sosial, maupun yuridis atau justru dia terlalu sering melakukan kesalahan mungkin yang terbaik adalah adanya kesadaran diri bahwa sesungguhnya dia tidak cocok dengan tugas dan pekerjaan yang diembannnya, dan itulah pilihan yang terbaik bagi dirinya dan organisasi.

dikutip dari : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/28/20-profil-manajer-dan-pemimpin-pendidikan-yang-dibutuhkan-saat-ini/

Guru sebagai MOTIVATOR

Senin, 22 November 2010
Sejalan dengan pergeseran makna pembelajaran dari pembelajaran yang berorientasi kepada guru (teacher oriented) ke pembelajaran yang berorientasi kepada siswa (student oriented), maka peran guru dalam proses pembelajaran pun mengalami pergeseran, salah satunya adalah penguatan peran guru sebagai motivator.
Peran Guru sebagai Motivator
Proses pembelajaran akan berhasil manakala siswa mempunyai motivasi dalam belajar. Oleh sebab itu, guru perlu menumbuhkan motivasi belajar siswa. Untuk memperoleh hasil belajar yang optimal, guru dituntut kreatif membangkitkan motivasi belajar siswa, sehingga terbentuk perilaku belajar siswa yang efektif.
Dalam perspektif manajemen maupun psikologi, kita dapat menjumpai beberapa teori tentang motivasi (motivation) dan pemotivasian (motivating) yang diharapkan dapat membantu para manajer (baca: guru) untuk mengembangkan keterampilannya dalam memotivasi para siswanya agar menunjukkan prestasi belajar atau kinerjanya secara unggul. Kendati demikian, dalam praktiknya memang harus diakui bahwa upaya untuk menerapkan teori-teori tersebut atau dengan kata lain untuk dapat menjadi seorang motivator yang hebat bukanlah hal yang sederhana, mengingat begitu kompleksnya masalah-masalah yang berkaitan dengan perilaku individu (siswa), baik yang terkait dengan faktor-faktor internal dari individu itu sendiri maupun keadaan eksternal yang mempengaruhinya.
Terlepas dari kompleksitas dalam kegiatan pemotivasian tersebut, dengan merujuk pada pemikiran Wina Senjaya (2008), di bawah ini dikemukakan beberapa petunjuk umum bagi guru dalam rangka meningkatkan motivasi belajar siswa
1. Memperjelas tujuan yang ingin dicapai.
Tujuan yang jelas dapat membuat siswa paham ke arah mana ia ingin dibawa. Pemahaman siswa tentang tujuan pembelajaran dapat menumbuhkan minat siswa untuk belajar yang pada gilirannya dapat meningkatkan motivasi belajar mereka. Semakin jelas tujuan yang ingin dicapai, maka akan semakin kuat motivasi belajar siswa. Oleh sebab itu, sebelum proses pembelajaran dimulai hendaknya guru menjelaskan terlebih dulu tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal ini, para siswa pun seyogyanya dapat dilibatkan untuk bersama-sama merumuskan tujuan belajar beserta cara-cara untuk mencapainya.
2. Membangkitkan minat siswa.
Siswa akan terdorong untuk belajar manakala mereka memiliki minat untuk belajar. Oleh sebab itu, mengembangkan minat belajar siswa merupakan salah satu teknik dalam mengembangkan motivasi belajar. Beberapa cara dapat dilakukan untuk membangkitkan minat belajar siswa, diantaranya :
  • Hubungkan bahan pelajaran yang akan diajarkan dengan kebutuhan siswa. Minat siswa akan tumbuh manakala ia dapat menangkap bahwa materi pelajaran itu berguna untuk kehidupannya. Dengan demikian guru perlu enjelaskan keterkaitan materi pelajaran dengan kebutuhan siswa.
  • Sesuaikan materi pelajaran dengan tingkat pengalaman dan kemampuan siswa. Materi pelaaran yang terlalu sulit untuk dipelajari atau materi pelajaran yang jauh dari pengalaman siswa, akan tidak diminati oleh siswa. Materi pelajaran yang terlalu sulit tidak akan dapat diikuti dengan baik, yang dapat menimbulkan siswa akan gagal mencapai hasil yang optimal; dan kegagalan itu dapat membunuh minat siswa untuk belajar. Biasanya minat siswa akan tumbuh kalau ia mendapatkan kesuksesan dalam belajar.
  • Gunakan berbagai model dan strategi pembelajaran secara bervariasi, misalnya diskusi, kerja kelompok, eksperimen, demonstrasi, dan lain-lain.
3. Ciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar.
Siswa hanya mungkin dapat belajar dengan baik manakala ada dalam suasana yang menyenangkan, merasa aman, bebas dari rasa takut. Usahakan agar kelas selamanya dalam suasana hidup dan segar, terbebas dari rasa tegang. Untuk itu guru sekali-sekali dapat melakukan hal-hal yang lucu.
4. Berilah pujian yang wajar terhadap setiap keberhasilan siswa.
Motivasi akan tumbuh manakala siswa merasa dihargai. Memberikanpujian yang wajar merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memberikan penghargaan. Pujian tidak selamanya harus dengan kata-kata. Pujian sebagain penghargaan dapat dilakukan dengan isyarat, misalnya senyuman dan anggukan yang wajar, atau mungkin dengan tatapan mata yang meyakinkan.
5. Berikan penilaian.
Banyak siswa yang belajar karena ingin memperoleh nilai bagus. Untuk itu mereka belajar dengan giat. Bagi sebagian siswa nilai dapat menjadi motivasi yang kuat untuk belajar. Oleh karena itu, penilaian harus dilakukan dengan segera agar siswa secepat mungkin mengetahui hasil kerjanya. Penilaian harus dilakukan secara objektif sesuai dengan kemampuan siswa masing-masing.
6. Berilah komentar terhadap hasil pekerjaan siswa.
Siswa butuh penghargaan. Penghargaan bisa dilakukan dengan memberikan komentar positif. Setelah siswa selesai mengerjakan suatu tugas, sebaiknya berikan komentar secepatnya, misalnya dengan memberikan tulisan “bagus” atau “teruskan pekerjaanmu” dan lain sebagainya. Komentar yang positif dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.
7. Ciptakan persaingan dan kerja sama.
Persaingan yang sehat dapat memberikan pengaruh yang baik untuk keberhasilan proses pembelajaran siswa. Melalui persaingan siswa dimungkinkan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh hasil yang terbaik. Oleh sebab itu, guru harus mendesain pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk bersaing baik antara kelompok maupun antar-individu. Namun demikian, diakui persaingan tidak selamanya menguntungkan, terutama untuk siswa yang memang dirasakan tidak mampu untuk bersaing, oleh sebab itu pendekatan cooperative learning dapat dipertimbangkan untuk menciptakan persaingan antarkelompok.
Di samping beberapa petunjuk cara membangkitkan motivasi belajar siswa di atas, adakalanya motivasi itu juga dapat dibangkitkan dengan cara-cara lain yang sifatnya negatif seperti memberikan hukuman, teguran, dan kecaman, memberikan tugas yang sedikit berat (menantang). Namun, teknik-teknik semacam itu hanya bisa digunakan dalam kasus-kasus tertentu. Beberapa ahli mengatakan dengan membangkitkan motivasi dengan cara-cara semacam itu lebih banyak merugikan siswa. Untuk itulah seandainya masih bisa dengan cara-cara yang positif, sebaiknya membangkitkan motivasi dengan cara negatif dihindari.
Sumber:
Wina Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Panduan Pelaksanaan SKS

Penyelenggaraan Sistem Kredit Semester (SKS) pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di Indonesia saat ini merupakan suatu upaya inovatif untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pada hakikatnya, SKS merupakan perwujudan dari amanat Pasal 12 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal tersebut mengamanatkan bahwa “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak, antara lain: (b) mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; dan (f) menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan. Amanat dari pasal tersebut selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.
Panduan Penyelenggaraan SKS untuk SMP/MTs dan SMA/MA
Sebagaimana diketahui bahwa Standar Isi merupakan salah satu standar dari delapan Standar Nasional Pendidikan. Standar Isi mengatur bahwa beban belajar terdiri atas dua macam, yaitu: (1) Sistem Paket, dan (2) Sistem Kredit Semester. Meskipun SKS sudah disebut dalam Standar Isi, namun hal itu belum dimuat dan diuraikan secara rinci karena Standar Isi hanya mengatur Sistem Paket. Selengkapnya pernyataan tersebut adalah: “Beban belajar yang diatur pada ketentuan ini adalah beban belajar sistem paket pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sistem Paket dalam Standar Isi diartikan sebagai sistem penyelenggaraan program pendidikan yang peserta didiknya diwajibkan mengikuti seluruh program pembelajaran dan beban belajar yang sudah ditetapkan untuk setiap kelas sesuai dengan struktur kurikulum yang berlaku pada satuan pendidikan.
Beban belajar setiap mata pelajaran pada Sistem Paket dinyatakan dalam satuan jam pembelajaran.” Beban belajar dengan Sistem Paket hanya memberi satu kemungkinan, yaitu seluruh peserta didik wajib menggunakan cara yang sama untuk menyelesaikan program belajarnya. Implikasi dari hal tersebut yaitu antara lain bahwa peserta didik yang pandai akan dipaksa untuk mengikuti peserta didik lainnya yang memiliki kemampuan dan kecepatan belajar standar. Sistem pembelajaran semacam itu dianggap kurang memberikan ruang yang demokratis bagi pengembangan potensi peserta didik yang mencakup kemampuan, bakat, dan minat.
Berbeda dengan Sistem Paket, beban belajar dengan SKS memberi kemungkinan untuk menggunakan cara yang lebih variatif dan fleksibel sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minat peserta didik. Oleh karena itu, penerapan SKS diharapkan bisa mengakomodasi kemajemukan potensi peserta didik. Melalui SKS, peserta didik juga dimungkinkan untuk menyelesaikan program pendidikannya lebih cepat dari periode belajar yang ditentukan dalam setiap satuan pendidikan. SKS dalam Standar Isi diartikan sebagai sistem penyelenggaraan program pendidikan yang peserta didiknya menentukan sendiri beban belajar dan mata pelajaran yang diikuti setiap semester pada satuan pendidikan. Beban belajar setiap mata pelajaran pada sistem kredit semester dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks). Beban belajar satu sks meliputi satu jam pembelajaran tatap muka, satu jam penugasan terstruktur, dan satu jam kegiatan mandiri tidak terstruktur.
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan telah menyusun “Panduan Penyelenggaraan SKS untuk Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA)”.
Jika Anda ingin mengetahui selengkapnya  isi panduan tersebut, silahkan klik  DISINI

MOS yang Humanis

Setiap memasuki tahun pelajaran baru, pada umumnya hampir di setiap sekolah menyelenggarakan kegiatan Masa Orientasi Sekolah (MOS), yang wajib diikuti oleh setiap calon siswa. Secara teoritik, kegiatan orientasi memang memiliki tujuan yang positif, yakni membantu para calon siswa untuk mengenal dan memahami lingkungan sekolahnya yang baru, baik lingkungan fisik, seperti : ruang kelas, tempat ibadah, laboratorium dan fasilitas belajar lainnya, maupun lingkungan sosio-psikologis, seperti guru-guru, teman dan iklim serta budaya yang dikembangkan sekolah, sehingga diharapkan para calon siswa dapat segera mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru di sekolahnya
Tetapi, mari kita lihat realita prakteknya ! Hingga saat ini, pada beberapa sekolah masih ditemukan kegiatan MOS yang masih terjebak dalam praktek perpeloncoan, yang kerapkali mengabaikan aspek-aspek kemanusiaan, seperti mewajibkan para calon siswa untuk mengenakan atribut dan membawa berbagai kelengkapan yang “aneh-aneh”. Jika melanggar ketentuan-ketentuan yang “aneh-aneh” itu, mereka harus siap-siap menerima sanksi tertentu, bahkan mungkin ada pula yang disertai dengan pemberian hukuman yang bersifat fisik.
Boleh jadi, akibat dari praktek orientasi semacam itu bukannya menjadikan para calon siswa terpahamkan dan dapat memperoleh well adjustment, namun malah mungkin justru sebaliknya, keruntuhan harga diri dan kerusakan mental yang mereka dapatkan ! Tentu saja, hal ini merupakan awal yang buruk bagi kelangsungan belajar siswa ke depannya.
Jika merujuk pada pemikiran Irwin A. Hyman dan Pamela A. Snook (1999), praktek orientasi semacam itu sudah menunjukkan ciri-ciri dari sekolah berbahaya (dangerous school)
Kegiatan orientasi pada dasarnya merupakan sebuah proses pembelajaran dan apabila dikaitkan dengan beberapa prinsip pembelajaran modern yang saat ini sedang dikembangkan di Indonesia, seperti pembelajaran menyenangkan, pembelajaran humanistik, pembelajaran demokratis, dan sejenisnya, maka model orientasi yang bercirikan pengingkaran hak-hak martabat kemanusiaan seperti di atas agaknya menjadi sangat kontradiktif dan kontraproduktif.
Oleh karena itu, sudah waktunya perlu dilakukan evaluasi terhadap praktek orientasi semacam itu untuk segera digantikan dengan model-model kegiatan orientasi yang lebih humanis. Kegiatan orientasi bukanlah ajang untuk menunjukkan superioritas senior terhadap yunior, dan bukan pula ajang untuk melampiskan motif-motif destruktif yang terselubung. Tetapi justru merupakan upaya untuk menyambut hangat dan penuh kecintaan terhadap para calon siswa agar mereka merasa betah sekaligus memiliki kebanggaan dan keyakinan bahwa dia benar-benar telah memilih sekolah yang tepat bagi dirinya.
Lantas, seperti apakah MOS yang humanis itu ? Kegiatan MOS yang humanis setidaknya memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah :
  • Memandang calon siswa sebagai sosok manusia utuh dengan segenap potensi kemanusiaan yang dimilikinya,. yang patut dihargai dan dihormati keberadaannya. Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya jika masa orientasi ini digunakan pula sebagai moment untuk mengidentifikasi dan mengeksplorasi potensi-potensi yang dimiliki calon siswa untuk dikembangkan lebih lanjut.
  • Pembimbingan dilakukan dalam suasana hubungan kemitraan yang sejajar dan penuh keakraban, baik antara calon siswa dengan calon siswa, maupun calon siswa dengan warga sekolah lama, termasuk dengan para guru.
  • Reinforcement perilaku yang lebih mengedepankan pemberian ganjaran (reward) dan sedapat mungkin menghindari bentuk hukuman fisik maupun psikis (punishment).
  • Metode kegiatan dikemas secara kreatif dalam bentuk dinamika kelompok yang menyenangkan dan lebih mengedepankan pada aktivitas para calon siswa..
Memang bukanlah hal yang mudah untuk mengganti model kegiatan orientasi ke arah yang lebih humanis, apalagi jika kesalahkaprahan dalam praktek kegiatan orientasi sudah berlangsung sejak lama dan dilakukan secara turun temurun. Akan tetapi kita percaya bahwa dengan komitmen, kesadaran dan kecerdasan dari seluruh warga sekolah kiranya bukan hal yang mustahil untuk dapat mewujudkannya.

Disiplin Siswa di Sekolah

Dalam kehidupan sering kita dengar orang mengatakan bahwa si X adalah orang yang memiliki disiplin yang tinggi, sedangkan si Y orang yang kurang disiplin. Sebutan orang yang memiliki disiplin tinggi biasanya tertuju kepada orang yang selalu hadir tepat waktu, taat terhadap aturan, berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku, dan sejenisnya. Sebaliknya, sebutan orang yang kurang disiplin biasanya ditujukan kepada orang yang kurang atau tidak dapat mentaati peraturan dan ketentuan berlaku, baik yang bersumber dari masyarakat (konvensi-informal), pemerintah atau peraturan yang ditetapkan oleh suatu lembaga tertentu (organisasional-formal).
Disiplin Siswa di Sekolah
Seorang siswa dalam mengikuti kegiatan belajar di sekolah tidak akan lepas dari berbagai peraturan dan tata tertib yang diberlakukan di sekolahnya, dan setiap siswa dituntut untuk dapat berperilaku sesuai dengan aturan dan tata tertib yang yang berlaku di sekolahnya. Kepatuhan dan ketaatan siswa terhadap berbagai aturan dan tata tertib yang yang berlaku di sekolahnya itu biasa disebut disiplin siswa. Sedangkan peraturan, tata tertib, dan berbagai ketentuan lainnya yang berupaya mengatur perilaku siswa disebut disiplin sekolah. Disiplin sekolah adalah usaha sekolah untuk memelihara perilaku siswa agar tidak menyimpang dan dapat mendorong siswa untuk berperilaku sesuai dengan norma, peraturan dan tata tertib yang berlaku di sekolah. Menurut Wikipedia (1993) bahwa disiplin sekolah “refers to students complying with a code of behavior often known as the school rules”. Yang dimaksud dengan aturan sekolah (school rule) tersebut, seperti aturan tentang standar berpakaian (standards of clothing), ketepatan waktu, perilaku sosial dan etika belajar/kerja. Pengertian disiplin sekolah kadangkala diterapkan pula untuk memberikan hukuman (sanksi) sebagai konsekuensi dari pelanggaran terhadap aturan, meski kadangkala menjadi kontroversi dalam menerapkan metode pendisiplinannya, sehingga terjebak dalam bentuk kesalahan perlakuan fisik (physical maltreatment) dan kesalahan perlakuan psikologis (psychological maltreatment), sebagaimana diungkapkan oleh Irwin A. Hyman dan Pamela A. Snock dalam bukunya “Dangerous School” (1999).
Berkenaan dengan tujuan disiplin sekolah, Maman Rachman (1999) mengemukakan bahwa tujuan disiplin sekolah adalah : (1) memberi dukungan bagi terciptanya perilaku yang tidak menyimpang, (2) mendorong siswa melakukan yang baik dan benar, (3) membantu siswa memahami dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya dan menjauhi melakukan hal-hal yang dilarang oleh sekolah, dan (4) siswa belajar hidup dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan bermanfaat baginya serta lingkungannya. Sementara itu, dengan mengutip pemikiran Moles, Joan Gaustad (1992) mengemukakan: “School discipline has two main goals: (1) ensure the safety of staff and students, and (2) create an environment conducive to learning”. Sedangkan Wendy Schwartz (2001) menyebutkan bahwa “the goals of discipline, once the need for it is determined, should be to help students accept personal responsibility for their actions, understand why a behavior change is necessary, and commit themselves to change”. Hal senada dikemukakan oleh Wikipedia (1993) bahwa tujuan disiplin sekolah adalah untuk menciptakan keamanan dan lingkungan belajar yang nyaman terutama di kelas. Di dalam kelas, jika seorang guru tidak mampu menerapkan disiplin dengan baik maka siswa mungkin menjadi kurang termotivasi dan memperoleh penekanan tertentu, dan suasana belajar menjadi kurang kondusif untuk mencapai prestasi belajar siswa.
Keith Devis mengatakan, “Discipline is management action to enforce organization standarts” dan oleh karena itu perlu dikembangkan disiplin preventif dan korektif. Disiplin preventif, yakni upaya menggerakkan siswa mengikuti dan mematuhi peraturan yang berlaku. Dengan hal itu pula, siswa berdisiplin dan dapat memelihara dirinya terhadap peraturan yang ada. Disiplin korektif, yakni upaya mengarahkan siswa untuk tetap mematuhi peraturan. Bagi yang melanggar diberi sanksi untuk memberi pelajaran dan memperbaiki dirinya sehingga memelihara dan mengikuti aturan yang ada.
Membicarakan tentang disiplin sekolah tidak bisa dilepaskan dengan persoalan perilaku negatif siswa. Perilaku negatif yang terjadi di kalangan siswa remaja pada akhir-akhir ini tampaknya sudah sangat mengkhawarirkan, seperti: kehidupan sex bebas, keterlibatan dalam narkoba, gang motor dan berbagai tindakan yang menjurus ke arah kriminal lainnya, yang tidak hanya dapat merugikan diri sendiri, tetapi juga merugikan masyarakat umum. Di lingkungan internal sekolah pun pelanggaran terhadap berbagai aturan dan tata tertib sekolah masih sering ditemukan yang merentang dari pelanggaran tingkat ringan sampai dengan pelanggaran tingkat tinggi, seperti : kasus bolos, perkelahian, nyontek, pemalakan, pencurian dan bentuk-bentuk penyimpangan perilaku lainnya.Tentu saja, semua itu membutuhkan upaya pencegahan dan penanggulangganya, dan di sinilah arti penting disiplin sekolah.

Tujuh Sikap Untuk Mencairkan Konflik di Sekolah

Konflik dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang dihadapkan dengan motif, keyakinan, nilai dan tujuan yang saling bertentangan. Konflik bisa dialami oleh siapapun dan di manapun, termasuk oleh komunitas di sekolah. Siswa, guru, atau pun kepala sekolah dalam waktu-waktu tertentu sangat mungkin dihadapkan dengan konflik.

Konflik yang dialami individu di sekolah dapat hadir dalam berbagai bentuk, bisa dalam bentuk individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Misalnya, seorang guru berhadapan seorang guru, seorang guru berhadapan dengan sekelompok guru, sekelompok guru tertentu berhadapan dengan sekelompok guru lainnya., dan sejenisnya. Konflik yang terjadi diantara mereka bisa bersifat tertutup, terbuka atau bahkan menjadi konfrontasi.
Apabila konflik yang terjadi di sekolah tidak terkelola dan bersifat destruktif, maka selain dapat mengganggu kesehatan dan kualitas kehidupan seseorang, juga dapat mengganggu terhadap pencapaian efektivitas dan efisiensi pendidikan di sekolah secara keseluruhan.
Terkait dengan upaya mengelola konflik di sekolah, Daniel Robin (2004) dalam sebuah artikelnya menawarkan tujuh sikap yang diperlukan untuk mencairkan konflik.
1. Define what the conflict is about
Definisikan secara jelas konflik apa yang sedang berkembang. Tanyakan pada setiap orang “Ada issue apa?”, lalu tanyakan pula “Apa kepedulian Anda di sini? atau “Apa yang kamu rasakan dan manfaat dari pertengkaran ini”. Secara berkala tanyakan pula “Apa yang ingin Anda capai dan bagamana kita harus mengerjakannya?”
2. It’s not you versus me; it’s you and me versus the problem
Memiliki keyakinan bahwa “Ini bukanlah pertentangan antara anda dengan saya, tetapi ini adalah saya bersama anda melawan masalah itu”. Masalah yang sebenarnya adalah masalah itu sendiri, yang harsus diselesaikan, bukan terletak pada orangnya. Adalah hal yang amat bodoh, jika Anda mencoba mengalahkan salah satu dari antara pihak yang berkonflik, karena suatu saat setelah mereka dikalahkan, meraka akan kembali melakukan pertempuran ulang (rematch) yang terus-menerus, yang mungkin dengan daya tembak yang lebih kuat. Jangan paksa orang untuk bertekuk lutut!
3. Identify your shared concerns against your one shared separation.
Lakukan identifikasi orang-orang yang memiliki kepedulian yang sama dengan Anda dan orang–orang yang justru berseberangan dengan Anda. Jika dihadapkan pada suatu konflik, buatlah semacam kesepakatan dengan kelompok yang memiliki hubungan paling kuat (dimana Anda menyetujuinya), tidak dengan kelompok yang paling lemah. Ini akan lebih mudah dan juga lebih efektif, apabila Anda hendak mengalihkan hal-hal yang disetujui maupun tidak disetujui. Pahami sudut pandang mereka dan berikan penghargaan atas perbedaaan yang ada.
4. Sort out interpretations from facts.
Memilah interpretasi berdasarkan fakta. Jangan meminta suatu pendapat dari orang yang sedang berkonflik, karena hanya akan memperoleh pendapat dan penafsiran versi mereka. Tetapi sebaiknya ungkapkan “Apa yang telah kamu lakukan atau katakan?” pertanyaan semacam ini akan lebih menggiring pada fakta, yang selanjutnya dapat dijadikan dasar bagi pemecahan konflik
3. Develop a sense of forgiveness.
Kembangkan rasa untuk memaafkan. Tidak mungkin terjadi rekonsiliasi tanpa belajar memaafkan kesalahan orang lain. Banyak orang melakukan perdamaian tetapi tidak bisa mengubur kejadian yang sudah-sudah sehingga pada hari kemudian memunculkan lagi pertengkaran. Oleh karena itu, setiap orang penting untuk dibelajarkan mau memaafkan orang lain secara tulus. Yang lalu biar berlalu, hari ini kenyataan dan esok hari adalah harapan!
6. Learn to listen actively
Belajar mendengar secara aktif. Putarlah paradigma dari ungkapan “ Ketika saya bicara, orang lain mendengarkan” menjadi “Ketika saya mendengarkan, orang lain berbicara kepada saya”. Mendengarkan dengan tujuan untuk memahami, bukan untuk menjawab Mulailah dengan berusaha memahami, kemudian menjadi dipahami. Setidaknya dengan cara ini, akan membantu melepaskan ego atau uneg-uneg yang bersangkutan (katarsis)
7. Purify your heart.
Terakhir, berusaha mensucikan hati. Hati yang bersih merupakan benteng utama dari berbagai serangan dari luar  dan juga akan pembimbing kita dalam setiap tindakan. Anda tidak akan mendapatkan konflik atau kekerasan dari orang lain, jika dalam hati dan jiwa Anda bersemayam kebajikan. Rasa benci, iri dan dengki yang bercokol di hati kerapkali menjadi pemicu terjadinya konflik.

Trigonometri - Sudut Istimewa

Jumat, 19 November 2010
Sebelumnya telah dibahas mengenai Landasan Teori atau Teori Dasar Trigonometri, dan sekarang kita mulai melanjutkannya dengan sudut-sudut istimewa dalam trigonometri.

Dalam menentukan nilai dari fungsi trigonometri kita dapat menggunakan banyak cara, diantaranya :
  • Menggunakan tabel fungsi trigonometri,
  • Menggunakan kalkulator, dan
  • Menggunakan sudut istimewa pada fungsi trigonometri.
Penggunaan tabel fungsi trigonometri berguna pada saat kita menyelesaikan soal dengan sudut sembarang antara 0,00 hingga 90,00 dengan ketelitian yang cukup tinggi, sedangkan penggunaan kalkulator berguna pada saat kita memeriksa hasil dari usaha dalam menyelesaikan soal diatas tapi didalam UAN dan SPMB jarang sekali diperbolehkan menggunakan keduanya. penggunaan sudut istimewa sangat sering digunakan pada kedua ujian tersebut.

dengan memanfaatkan sudut istimewa pada fungsi trigonometri maka kita bisa mendapatkan nilai fungsi secara cepat, sudut-sudut tersebut ialah :

Nilai-nilai tersebut didapat dari permisalan berikut :


Contoh penggunaan gambar diatas sebagai berikut :

nilai dari sin 30 adalah ...
seperti kita ketahui bahwa sin adalah depan bagi miring, maka 1 ÷ 2 = ½.

nilai dari cos 30 adalah ...
cos adalah samping bagi miring, maka √3 ÷ 2 = ½ √3
Related Posts with Thumbnails

Menggagas Pendidikan Tanggap Bencana

Masihkah kegiatan belajar-mengajar (KBM) dalam pendidikan diperlukan bagi anak-anak yang saat ini menjadi korban bencana? Pertanyaan itu tidak bermaksud menggemboskan semangat anak-anak korban bencana baik korban banjir di Wasior, tsunami Mentawai, maupun korban letusan Gunung Merapi di tiga wilayah, Sleman, Magelang, dan Klaten yang walau dilanda musibah, mereka tampak sangat antusias mengikuti ragam kegiatan edukasi positif yang diselenggarakan para relawan. Namun, yang perlu dimengerti adalah situasi dan kondisi kalut para korban bencana. Sebagian dari mereka (anak-anak sekolah) harus rela menerima duka dan kesedihan mendalam lantaran sanak saudara, atau bahkan anggota keluarga mereka (orang tua), menjadi salah satu korban bencana alam. Dalam situasi itu, sepertinya sangat sulit mengajak anak-anak korban bencana itu untuk mengikuti KBM, kecuali di samping karena kemauan kuat dari si anak, ada pengubahan format KBM, yang saya menyebutnya dengan istilah 'pendidikan darurat'.
Asumsi yang dibangun dalam tulisan ini adalah bagaimana kita berempati dengan ikut memperhatikan nasib ribuan anak sekolah dasar (SD) sampai sekolah lanjutan (SMP/SMU) yang kini menderita akibat bencana. Mulai dalam bencana Wasior, Mentawai, hingga Merapi, banyak bangunan sekolah rusak dan buku serta sarana belajar lainnya juga hancur. Mereka tidak bisa belajar karena harus ikut mengungsi bersama orang tua mereka. Belum jelas bagaimana kelanjutan pendidikan mereka karena situasinya amat buruk dan nyaris tidak tertangani dengan baik.
Banyak anak yang tidak tahu lagi mesti belajar di sekolah mana, dan apakah sekolah yang ada bisa menampung mereka dalam kondisi morat-marit di area pengungsian yang sejauh ini masih di bawah terpal darurat dan tenda-tenda sementara. Di sinilah pentingnya memikirkan alternatif untuk mencegah agar anak-anak sekolah di kawasan bencana tidak menjadi generasi yang hilang dengan membangun pendidikan darurat. Pendidikan darurat itu penting untuk memberikan pelajaran dan pendidikan yang layak, apalagi bagi mereka yang masih harus menyelesaikan pendidikan sembilan tahun.

Pendidikan darurat
Dalam pengamatan saya, ada tiga pengertian apa yang dimaksud dengan pendidikan darurat. Pertama, mengacu ke tempat atau ruang belajar sebagai sarana fisik untuk menyelenggarakan pendidikan. Artinya, selama masih dalam situasi awas atau darurat di lokasi pengungsian, untuk melangsungkan KBM tidak perlu menunggu tegaknya bangunan gedung sekolah baru, tapi cukup memanfaatkan tenda-tenda pengungsi sebagai ruang KBM. Selain tenda-tenda, bangunan rumah milik warga yang masih layak pakai dapat pula digunakan sebagai ruang belajar sementara.
Kedua, memanfaatkan partisipasi guru dari para relawan, yang walaupun mereka mungkin sebenarnya tidak menyandang sebagai guru (dalam arti formal), lewat kemampuan dan predikat mahasiswa, misalnya, dapatlah diperbantukan untuk mendukung KBM bagi anak-anak sekolah korban bencana. Proses pembelajaran itu sangat penting, terutama bagi para relawan, yang barangkali merupakan pengalaman baru dalam mengajar, yang itu pasti bermanfaat di kemudian hari.
Ketiga, materi KBM tidak mesti mengacu ke kurikulum pembelajaran formal, tapi lebih dititikberatkan pada aspek-aspek sekunder, seperti bermain sambil belajar. Peran guru sangat menentukan untuk mendukung program ini. Harry K Wong dan Rosemary T Wong dalam How to be an Effective Teacher: The First Days of School (2005) menyebutkan setidaknya ada tiga ciri guru efektif, yaitu memiliki ekspektasi positif terhadap kesuksesan siswa, manajer kelas yang andal, dan mengetahui cara merancang pelajaran untuk dikuasi siswa.
Jadi, tanpa mengurangi substansi belajar, unsur permainan dalam proses KBM bagi anak-anak korban bencana perlu diprioritaskan. Hal itu penting dilakukan untuk memberikan hiburan bagi anak-anak korban bencana, yang barangkali masih dihantui rasa trauma. Aspek-aspek pembelajaran formal bisa diselipkan pada pola permainan yang sedang berlangsung.
Misalnya, seorang guru menyelenggarakan semacam audisi menyanyi untuk anak didiknya dengan mengambil tema lingkungan dan alam semesta. Lagu The Earth Song Michael Jackson sangat boleh jadi akan menjadi media belajar yang sangat efektif untuk memperkenalkan alam dengan cara bernyanyi dan menerjemahkan lirik lagu tersebut. Ini artinya dibutuhan kreativitas dari para guru dan relawan untuk mengintegrasikan nyanyian (bernyanyi) ke dalam mata ajar yang ada seperti geografi, biologi, dan agama. Dengan demikian, sekolah dalam kondisi itu sesungguhnya berubah menjadi tempat belajar yang mengasyikkan bagi anak. Sudah tentu, sangat berbeda jauh dengan situasi sekolah dalam keadaan normal sebelum bencana, yang lebih didominasi aturan-aturan ketat, mengacu ke diktat, dan cenderung mengurangiĆ¢€”-untuk tidak mengatakan 'menghilangkan' kekhasan anak-anak yang memang lebih menyukai bermain daripada tekanan psikologis belajar secara serius.
Pendidikan, dalam arti sekolah, sejatinya tidak menghilangkan masa-masa kebahagiaan anak yang karakteristiknya suka bermain. Apalagi, menurut sejarah, sekolah berasal dari bahasa Latin skole, scola, atau scolae, yang berarti 'waktu luang' atau 'waktu senggang'. Artinya, sekolah adalah 'waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar' (FA Agus Wahyudi, dalam Majalah Basis, Nomor 07-08, Juli-Agustus 2006). Pemahaman ini berbanding terbalik dengan fakta di lapangan, yang tidak memberikan 'waktu luang' bagi anak untuk bermain bersama teman-teman sejawatnya. Singkatnya, konstruksi pemikiran masyarakat modern saat ini menjadikan pendidikan nomor satu, sementara bermain (dengan segala karakteristik dan kekhasan anak) dinomorduakan atau bahkan di nomor urut berikutnya. Karena itu, yang dikedepankan dalam aktivitas KBM di tengah situasi bencana adalah mengembalikan peran sekolah ke khitahnya, yang berorientasi pada-Ć¢€”meminjam istilah Paulo Freire--memanusiakan manusia (humanizing human being). Memang, pola penanganan pendidikan untuk anak-anak korban bencana membutuhkan ide-ide kreatif-taktis dari para penyelenggara pendidikan, baik diknas maupun pemda setempat untuk tetap memberikan hak dan kewajiban anak belajar, sebagaimana diatur UUD 1945 dan UU Sisdiknas.

Realisasi kurikulum kebencanaan
Untuk jangka panjang, sekolah perlu membangun pembiasaan menghadapi bencana, mulai gempa bumi, tsunami, kebakaran, hingga kerusuhan. Lewat pendidikan, masyarakat perlu disadarkan bahwa daerah yang kita tempati saat sekarang rawan bencana, terutama bencana alam geologi. Menurut para ahli, posisi Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik dunia, yaitu lempeng Australia di selatan, lempeng Euro-Asia di bagian barat, dan lempeng Samudra Pasifik di bagian timur.
Karena itu, setiap warga negara, termasuk siswa, mesti tahu bagaimana bisa meloloskan diri secara tepat supaya tidak menambah korban jiwa karena bencana. Jadi ke depan, kegiatan pengurangan risiko bencana yang dimandatkan Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana harus terintegrasi ke dalam program pembangunan, termasuk sektor pendidikan. Ditegaskan pula dalam undang-undang tersebut bahwa pendidikan menjadi salah satu faktor penentu dalam kegiatan pengurangan risiko bencana.
Kita menunggu realisasi kurikulum kebencanaan yang sudah disiapkan Kemendiknas. Pasalnya, pemerintah menargetkan segera merealisasikan kurikulum pendidikan kebencanaan pada 2011. Kurikulum tersebut akan difokuskan pada sekolah-sekolah yang rawan mengalami bencana. Isi modul pendidikan kebencanaan tidak akan dimasukkan ke satu pelajaran, tetapi diintegrasikan ke beberapa pelajaran, seperti geografi, agama, dan bahasa Indonesia (Kompas, 5/11/2010).
Konsekuensinya jika setiap orang harus mengambil peran dalam kegiatan pengurangan risiko bencana, sekolah dan komunitas di dalamnya juga harus memulai mengenalkan materi-materi tentang kebencanaan sebagai bagian dari aktivitas pendidikan keseharian. Usaha meningkatkan kesadaran adanya kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana di dunia pendidikan harus dilaksakanakan baik pada taraf penentu kebijakan maupun pelaksana pendidikan di pusat dan daerah. Jadi, seluruh tingkatan diharapkan memiliki pemahaman yang sama akan perlunya pendidikan kesiapsiagaan bencana tersebut. Semoga.

Masuk Universitas Terbaik: SMPTN, Siapa Takut?

Sumber: www.AnneAhira.com

Bagi Anda yang baru lulus SMA, melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, apalagi masuk universitas terbaik, tentu saja merupakan sebuah impian. Namun, untuk masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi tersebut, memerlukan proses, di antaranya adalah ujian masuk universitas.


Banyak sekali jenis ujian masuk yang dibuka perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia. Tidak hanya perguruan tinggi swasta, kini, perguruan tinggi negeri pun sudah banyak membuka ujian mandiri sebagai salah satu jalur masuk perguruan tinggi tersebut.


Di antara perguruan tinggi yang sudah membuka jalur ujian mandiri tersebut adalah ITB (Institut Teknologi Bandung), UI (Universitas Indonesia), UNPAD (Universitas Padjadjaran), UGM (Universitas Gadjah Mada), UNSOED (Universitas Jederal Soedriman), dan UNDIP (Universitas Diponegoro).


Selain itu, dibuka jalur masuk yang sifatnya nasional yakni SMPTN (Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri) yang dilaksanakan oleh Forum Rektor Indonesia.


Mungkin banyak di antara Anda yang merasa tidak yakin untuk bisa lolos SMPTN. Namun, percayalah, ketidakyakinan tersebut justru menjadi kunci pintu kegagalan Anda. Berikut ini beberapa tips yang mungkin bisa Anda gunakan dalam menghadapi SMPTN.


1.  Persiapkan Materi yang Akan Diujikan


Tips pertama ini mungkin terdengar biasa dan klise. Namun, percayalah, ini justru yang menjadi kunci kesuksesan pertama Anda. Anda bisa membentuk kelompok belajar dengan kawan-kawan Anda.


Bentuklah kelompok kecil dan bagi tugas untuk mempelajari lebih dalam tentang satu hingga dua mata pelajaran yang akan diujikan di SMPTN. Misalnya, Anda menguasai Matematika dan Fisika, Anda bisa meminta kawan sekelompok Anda untuk mengajari bidang yang lain seperti Kimia dan Biologi.


Cara lainnya adalah dengan mengikuti bimbingan belajar. Namun, cara ini tidak akan berhasil ketika Anda lebih suka belajar dalam kelompok kecil. Membentuk kelompok belajar dalam ukuran kecil mungkin akan lebih cocok dengan Anda.


Cara lain yang bisa digunakan adalah dengan mengikuti les privat. Cara ini mungkin akan sedikit lebih mahal.


2.  Ikuti Tren dan Kenali Jurusan yang Ada


Jumlah peminat jurusan tertentu akan sangat beragam. Misalnya, jumlah peminat jurusan Teknik Industri akan lebih besar dibandingkan peminat jurusan Teknik Geologi.


Perbedaan jumlah peminat ini tidak mencerminkan perbedaan kualitas kedua jurusan tersebut. Perbedaan tersebut bisa jadi disebabkan kebutuhan lulusan tiap-tiap jurusan sehingga memaksa calon mahasiswa memilih jurusan yang lebih dibutuhkan ke depannya.


Perbedaan jumlah peminat tersebut bisa dijadikan tolak ukur Anda dalam menentukan tingkat persaingan dalam SMPTN. Misalnya, jurusan Teknik Industri ITB memiliki rasio peminat sekitar 1:12. Artinya, Anda harus mengalahkan 12 peminat lainnya untuk bisa masuk menjadi mahasiswa Teknik Industri ITB.


Selain itu, Anda perlu mengenali seluk-beluk jurusan yang ingin Anda masuki. Cara yang bisa digunakan adalah dengan mengetahui kurikulum yang digunakan.


Dari kurikulum tersebut, Anda bisa mengetahui apa saja yang dipelajari di jurusan tersebut dan kemampuan apa saja yang akan Anda miliki ketika lulus.


Anda juga bisa mengenali jurusan melalui bidang yang bisa dimasuki oleh lulusan jurusan tertentu. Misalnya, untuk masuk dalam industri perminyakan.


Anda tentu saja tidak harus melulu memilih Teknik Perminyakan sebagai jurusan yang ingin Anda pilih. Anda bisa saja memilih bidang lain yang terkait dengan bidang perminyakan, misalnya Teknik Geologi, Teknik Geofisika, dan Teknik Geodesi.


Anda juga bisa melihat tingkat kesulitan masuk ke jurusan tertentu melalui nilai passing grade dari jurusan tersebut. Nilai passing grade ini menggambarkan nilai minimal yang harus Anda lewati untuk bisa masuk ke jurusan idaman Anda.


3.  Kenali Soal-soal yang Akan Diujikan


Anda perlu mengenali tipe-tipe soal yang akan diujikan. Tipe-tipe soal yang biasa diujikan adalah berupa pilihan ganda, pilihan, dan pernyataan benar salah.


Tiap-tiap tipe soal ini memiliki trik khususnya agar ujian Anda sukses. Anda perlu memahami benar bagaimana tiap tipe soal ini dijawab.


Selain itu, Anda perlu mengenali soal-soal yang sering diujikan. Tingkat kecenderungan soal yang keluar perlu dicermati dengan sangat teliti. Soal-soal yang diujikan bisa jadi sangat mirip meskipun ada sedikit perbedaan dari segi parameter yang digunakan.


Dengan mengenali soal, Anda juga bisa membuat strategi pengerjaan soal-soal tersebut. Misalnya, Anda tidak perlu mengerjakan seluruh soal yang ada untuk masuk Teknik Industri ITB. Yang perlu Anda lakukan adalah mengetahui passing grade yang ada kemudian kerjakan soal-soal yang ada sehingga melebihi passing grade yang ada.


Anda bisa membagi prioritas pengerjaan soal sesuai dengan bidang yang memang benar-benar Anda kuasai.


4.  Siapkan Kondisi Tubuh Semaksimal Mungkin


Hal ini penting karena dengan kondisi tubuh prima, Anda bisa berkonsentrasi penuh untuk mengerjakan soal-soal yang ada. Hindari begadang sehari sebelum ujian dilaksanakan. Luangkan waktu Anda untuk beristirahat minimal sehari sebelum ujian dilaksanakan.

Teori Belajar Matematika

Teori belajar Matematika Yang Mudah