Jika ingin merusak suatu bangsa cukup dengan merusak cara berpikirnya.
Kalau ingin menghancurkan sebuah bangsa cukup dengan merusak kurikulum pendidikannya.
Kalau ingin menghancurkan sebuah bangsa cukup dengan merusak kurikulum pendidikannya.
Beberapa hari belakangan, pikiran saya terganggu oleh satu kenyataan yang berkaitan dengan mentalitas dan cara berpikir anak bangsa: menipu tak merasa bersalah, memanipulasi tak ada malu, nyontek dari SD sampai kuliah merasa biasa, kaya dari uang korupsi malah bangga, budaya disiplin begitu langkanya, dan sebagainya.
Pertanyaannya, kenapa mentalitas dan cara berpikir seperti ini bisa begitu mewabah dan menimpa hampir semua anak bangsa?
Bangsa kita memiliki klaim dan jargon yang sangat agung dalam hal moralitas. Dalam tataran formal, misanya, kita memiliki Pancasila sebagai sumber nilai moral yang disepakati menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Diyakini, nilai-nilai agung yang terkandung dalam lima sila Pancasila mencakup semua aspek kehidupan yang apabila diresapi dan dipraktekkan akan mengantarkan bangsa ini kepada kondisi ‘sejahtera aman sentosa di bawah ridho Tuhan’ (baldatun thoyibatun wa rabbun ghafur).
Dalam tataran kehidupan sosial, kita juga memiliki klaim sebagai bangsa ‘religius’, bangsa lemah lembut, bangsa santun, bangsa dengan tipo seliro yang tinggi, bangsa gotong royong, bangsa yang penuh dengan nilai-nilai kekeluargaan, dan segala macam.
Lalu, dimana klaim keagungan moral tersebut? Kenapa ia seperti tak berbekas dalam realitas? Sebuah pertanyaan yang merisaukan, dan kadang memunculkan logika nakal dalam pikiran saya, bahwa klaim atau jargon tersebut sebenarnya hanyalah sebuah kondisi ideal yang diidamkan oleh nenek moyang kita, sebuah impian, sebuah cita-cita, bukan terjemahan dari kondisi yang sebenarnya. Ada kalimat ‘mudah-mudahan’ yang dihilangkan dalam klaim tersebut. Jadi, jika Indonesia dibilang sebagai ‘bangsa yang religius’, maka kenyataan sebenarnya adalah ‘bangsa yang mudah-mudahan religius’; bangsa yang (mudah-mudahan) santun, bangsa yang (mudah-mudahan) gotong royong, dan sebagainya. Hanya saja, logika nakal seperti ini tentu sangat keliru adanya. Kesalahan bukan terletak pada klaim atau jargon tersebut. Tetapi ada sebuah sebab yang telah merusak dan menjauhkan bangsa ini dari nilai-nilai agung yang menjadi kekayaan budaya kita sejak dulu.
Hanya saja, sebab itu apa?
Berawal dari Kurikulum
Saya menyadari, penyebabnya tentu tidaklah tunggal. Hanya saja, faktor fundamental yang sangat tidak bisa kita nafikan adalah berkaitan dengan kurikulum pendidikan.
Kebetulan para keponakan saya mengeyam pendidikan di sekolah negeri. Setelah saya amati secara lebih dalam, kurikulum pendidikannya sangat tidak mendukung bagi penciptaan cara berpikir, mentalitas, ataupun keterampilan hidup yang kondusif bagi dirinya maupun bagi masa depan bangsa ini. Kurikulum dari SD sampai SMA selalu mengarahkan anak didik pada ‘hafal dan hafal’.
‘Hafal’ berarti dapat mengucapkan sesuatu di luar kepala. Menyuruh menghafal berarti menyuruh mereka untuk meresapi sesuatu ke dalam pikiran agar selalu ingat. Dan seringkali tuntutannya adalah siswa harus hafal persis seperti yang tertulis di buku pelajaran. Dan itu berlaku untuk semua mata pelajaran, tak peduli apakah itu mata pelajaran eksak (seperti matematika, IPA, Fisika, dsb), sosial (sejarah, IPS, dsb), dan agama/moral.
Jumlah mata pelajaran sekolah negeri, juga mayoritas sekolah swasta, berjejer banyak. Tingkat SD saja, jumlah mata pelajarannya bisa mencapai 10-12 mata pelajaran. Tingkat SMP dan SMA antara 12 – 14 mata pelajaran. Andaikan satu pelajaran berisi 15 hafalan, berarti anak SD harus mampu mengingat sekitar lebih kurang 150 hafalan.
Karena tuntutan menghafal itu, pada saat ujian anak didik dilarang membuka buku alias nyontek. Apakah membuka buku sama dengan nyontek? Jawabannya ‘belum tentu’. Kalau soal ujiannya adalah kasus yang membutuhkan imajinasi (otak kanan), yang membutuhkan pendalaman pengertian (otak kanan), maka membuka buku bukan berarti akan bisa menjawab soal. Akan tetapi karena semua soal adalah pertanyaan dangkal yang tidak membutuhkan analisa, semua soal bisa dijawab dengan sekedar membuka buku, maka nyontek/membuka buku saat ujian dilarang keras.
Setiap orang, termasuk anak didik, sudah pasti ingin sukses dalam ujian, mereka tidak ingin dicap sebagai anak bodoh. Akan tetapi mereka juga tidak kuat menghafal sebegitu banyak item pelajaran yang mereka tahu bahwa sebagian besarnya tidak akan masuk sebagai soal ujian. Tapi karena mereka tidak tahu mana yang akan jadi pertanyaan, maka mereka dituntut untuk menghafal semuanya jika tidak ingin gagal.
Pertautan antara keinginan untuk tidak gagal dan keterbatasan kemampuan menghafal pada akhirnya melahirkan penyakit mental: manipulasi, tipu muslihat, akal bulus. Mayoritas anak didik berlomba-lomba pintar membikin contekan, jimat. Ada yang bikin contekan di tisu, kertas kecil, di betis, di paha, perut, dan segala macam tempat yang tertutup dari mata pengawas ujian.
Sungguh luar biasa kreatifitas anak didik dalam hal manipulasi dan tipu daya di bidang contek-menyontek ini. Itu mereka praktekkan sejak berusia SD hingga masa kuliah, dan di setiap masa ujian yang berlangsung secara konsisten. Dan itu berarti, kultur manipulasi, berbuat curang, hanya patuh saat petugas ada, budaya instan dan sebagainya itu sudah mulai berkembang di dalam diri calon generasi bangsa sejak mereka masih berusia dini.
Praktek yang terjadi di lembaga pendidikan inilah bibit unggul bagi berkembangnya penyakit mental kronis di tengah masyarakat. Sesuatu yang sudah rusak sejak dini, maka ke depannya akan rusak sendiri, itu pasti. Kalau menyontek dianggap biasa dan dipraktekkan berulang-ulang, maka ke depannya dia akan menganggap ‘nyolong’ itu biasa, ‘ngutip komisi’ itu lumrah, dan korupsi juga tidak dosa. Itu menjadi sebuah akumulasi.
Beberapa Contoh
Saya ingin memberikan contoh mentalitas bangsa yang merupakan buah dari akumulasi contek-mencontek tersebut. Dua contoh tersebut berkaitan dengan posisi saya sebagai anggota DPR RI Komisi I dan sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan DKI Jakarta.
Pertama, belum lama ini kami di Komisi I DPR mengesahkan anggaran sebesar 57 triliun untuk pembenahan Alutsista (alat Utama Sistem Persenjataan Utama). Anggaran ini bertujuan untuk merealisasikan pemenuhan kebutuhan minimal alat utama sistem persenjataan (Alutsista) inti yang dijabarkan dalam konsep `minimun essential force` (MEF).
Sekarang saya ‘harus sering teriak-teriak’, mengingatkan, agar anggaran tersebut tidak hanya jadi bancakan. Dana tersebut harus dikawal betul agar diarahkan untuk memberdayakan dan memperkuat industri alutsista dalam negeri demi mewujudkan kemandirian di bidang alutsista. Niat untuk menjadi kuat dan mandiri di bidang alutsista ini tidak akan tercapai jika tanpa memberdayakan dan membangun industri alutsista dalam negeri. Prioritas utama harus pada memberdayakan produksi dalam negeri, bukan membeli alutsista dari negara lain. Jika kita membelanjakan duit negara ke negara lain, berarti kita memperkaya negara lain dan uang negara menguap begitu saja. Tetapi jika kita membelanjakan anggaran untuk membangun dan memberdayakan industri alutsista dalam negeri, maka duit negara itu akan dirasakan manfaatnya oleh bangsa kita sendiri, anak cucu kita besok, dan berlaku untuk jangka waktu yang sangat lama.
Saya dan beberapa kawan di Komisi I sangat menyadari bahwa tidaklah mudah untuk menekan hasrat beberapa pejabat yang selama ini diuntungkan oleh impor alutsista. Mentalitas manipulatif dan meraih keuntungan secara instan sudah berlangsung sejak lama, karenanya tidaklah mudah untuk dikikis. Hanya saja, kenyataan yang memperihatinkan ini menjadi pendorong bagi kami untuk lebih rajin ‘rewel’ dalam rangka mengawal tujuan kemandirian alutsista. Sudah ‘diteriakin’ saja masih saja melenceng apalagi dibiarkan. Tanpa pengawasan yang ketat, maka lima tahun mendatang baru kita tersadar bahwa dana 57 triliun tersebut tidak bermanfaat apa-apa dalam membangun kejayaan bangsa.
Kedua, pembenahan ibukota Jakarta. Ruwetnya pembenahan ibukota Jakarta disebabkan oleh pertautan dua mentalitas yang tidak benar, yaitu mentalitas manipulatif para pejabat dan mentalitas tidak disiplin masyarakatnya. Di sisi pejabat, anggaran-anggaran yang diajukan untuk pembenahan ibukota lebih dilihat sebagai ajang memperkaya diri sendiri, bukan pada menyelesaikan persoalan sebenarnya. Sementara di sisi masyarakat, kesadaran untuk mematuhi aturan sangatlah rendah. Alih-alih patuh, kebanyakan malah merasa bangga karena mampu melanggar peraturan. Adagium mereka: peraturan dibuat untuk dilanggar. Contoh sederhana lihat saja perilaku pengendara (motor dan mobil) di jalan raya: betapa tidak disiplin, tidak taat aturan, dan tidak menghargai satu sama lain. Seperti saat ujian di sekolah, kalau tidak ada pengawas ujian maka semua hal boleh dilakukan. Hal itu juga berlaku di jalan raya. Selama polisi tidak ada maka semua hal boleh mereka lakukan. Yang ditakuti para pengendara jalan raya bukanlah aturan tapi adalah polisi.
Contoh lain yang sangat kasat mata di wilayah DKI Jakarta adalah pelanggaran aturan 3 in 1. Kebijakan Pemda DKI mengenai 3 in 1 (Perda No. 12/2003) bertujuan untuk mengurangi tingkat kemacetan dan mengurangi jumlah kendaraan di Jakarta, khususnya pada jam-jam tertentu di pagi hari (07.00 – 10.00 wib) dan sore hari (16.00 – 19.00 wib) di titik-titik tertentu, karena jalur tersebut merupakan jalur padat kendaraan. Masyarakat kita yang sudah terlanjur kreatif menyiasati dan memanipulasi aturan, memanfaatkan aturan ini sebagai lahan mengais rezeki dengan menawarkan diri sebagai penumpang bayaran (joki). Sehingga muncullah konsekuensi yang tidak diinginkan, yaitu berupa persekutuan manipulatif antara joki dan pengendara mobil berpenumpang kurang dari tiga. Hasilnya, alih-alih menyelesaikan persoalan, aturan tersebut melahirkan persoalan sosial baru oleh karena mentalitas manipulatif masyarakatnya.
Berbenah
Apa yang harus kita lakukan sekarang?
Melahirkan generasi bangsa yang unggul, disiplin, pantang menyerah, taat aturan dan sebagainya tidak bisa serta merta dalam satu tahun dua tahun. Mereka harus dibina selama kurun waktu yang bisa dikatakan tidak pendek. Karena itu, jika kita mendambakan generasi muda bangsa unggul secara intelektual dan keahlian serta memiliki mentalitas yang benar, maka model kurikulum pendidikan kita sekarang jelas membutuhkan perbaikan yang berorientasi pada pembentukan karakter yang kita idamkan tersebut.
Satu hal yang harus kita sadari, kultur ataupun model pembelajaran yang berkembang di lembaga pendidikan akan sangat mempengaruhi kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara kita di masa depan. Pendidikan itu selalu bersifat antisipatoris dan preparatoris, yaitu selalu mengacu ke masa depan dan selalu mempersiapkan generasi bangsa untuk kehidupan masa depan. Kondusif atau bobroknya mentalitas dan cara berpikir generasi bangsa di masa depan sangat tergantung pada lembaga pendidikan kita pada saat sekarang.
Saya melihat, kurikulum sekolah tidak mendukung bagi pembentukan generasi idaman, generasi yang cakap mengarungi kehidupan. Salah satu kelemahan mendasarnya adalah, bahwa kurikulum sekolah melupakan pemberdayaan kecakapan manusia secara paripurna.
Setiap manusia memiliki dua sisi otak yang sama-sama harus mendapat asupan gizi agar dia berkembang secara paripurna, yaitu otak kiri dan otak kanan. Otak kiri berkaitan dengan IQ (Intelligence Quotient) seperti hal perbedaan, angka, urutan, tulisan, bahasa, hitungan dan logika. Daya ingat otak kiri bersifat jangka pendek (short term memory). Sementara otak kanan berkiatan dengan EQ (Emotional Quotient), seperti hal iman, persamaan, khayalan, kreativitas, bentuk atau ruang, emosi, musik dan warna. Daya ingat otak kanan bersifat jangka panjang (long term memory).
Pendidikan kita sekarang hanya fokus pada pemberdayaan otak kiri (IQ) dan melupakan pemberdayaan kecakapan otak kanan. Itu bukan berarti bahwa sekolah hanya memberikan mata pelajaran seperti matematika, bahasa, dsb , dan melupakan pelajarna agama, etika, menggambar, dan semacamnya. Akan tetapi semua pelajaran diajarkan dengan pendekatan ‘hafalan’, bahkan pelajaran agama dan etika sekalipun. Seperti dalam pelajaran agama, anak didik hanya dijejali pengetahuan yang bersifat definitif dan harus dihafal (apa itu rukun iman, rukun Islam, berupa jumlah nabi, berapa rukun shalat, kapan perang badar, dst); bukan mengarahkan anak menghayati nilai-nilai terdalam dari ajaran agama tersebut. Sehingga tidaklah heran jika jika melihat fenomena sosial yang paradoks: beribadah rajin, korupsi juga rajin; ngomong agama fasih, melakukan tindakan amoral juga hebat.
Pendidikan kita juga lupa melihat kemampuan anak yang berbeda. Seorang anak tidak pernah diajarkan menggali apa keahlian dia sesungguhnya. Tidak ada kesempatan untuk menggali dan memilih keahlian yang berbeda. Yang ada hanyalah penyeragaman, semua dianggap sama. Suka atau tidak suka sejarah, di SMP harus belajar sejarah. Suka atau tidak suka pelajaran biologi, semua anak harus belajar anatomi tubuh, dan sebagainya. Kalaupun ada penjurusan, itu baru dilakukan pada saat kelas dua SLTA.
Pemegang kebijakan di bidang pendidikan, serta praktisi pendidikan termasuk guru, seakan lupa bahwa Kurikulum pendidikan bukan sekedar kumpulan dari sejumlah mata pelajaran. Kurikulum adalah rencana perjalanan edukatif yang disusun untuk mengantarkan generasi muda ke tujuan tertentu. Dan pada akhirnya, setiap pendidikan harus mempersiapkan generasi untuk ‘mengarungi kehidupan’ di masa depan secara baik dan benar serta mendukung bagi peningkatan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akhirnya, kita tinggal berharap lembaga pendidikan dan pejabat yang berwenang di bidang pendidikan melakukan reformasi kurikulum pendidikan yang mengarah pada penciptaan generasi yang cakap secara intelektual, keahlian, dan mental.
sumber : http://fayakhun.blogdetik.com
0 komentar:
Posting Komentar