Waktu untuk IBADAH

Menggagas Pendidikan Tanggap Bencana

Jumat, 19 November 2010
Masihkah kegiatan belajar-mengajar (KBM) dalam pendidikan diperlukan bagi anak-anak yang saat ini menjadi korban bencana? Pertanyaan itu tidak bermaksud menggemboskan semangat anak-anak korban bencana baik korban banjir di Wasior, tsunami Mentawai, maupun korban letusan Gunung Merapi di tiga wilayah, Sleman, Magelang, dan Klaten yang walau dilanda musibah, mereka tampak sangat antusias mengikuti ragam kegiatan edukasi positif yang diselenggarakan para relawan. Namun, yang perlu dimengerti adalah situasi dan kondisi kalut para korban bencana. Sebagian dari mereka (anak-anak sekolah) harus rela menerima duka dan kesedihan mendalam lantaran sanak saudara, atau bahkan anggota keluarga mereka (orang tua), menjadi salah satu korban bencana alam. Dalam situasi itu, sepertinya sangat sulit mengajak anak-anak korban bencana itu untuk mengikuti KBM, kecuali di samping karena kemauan kuat dari si anak, ada pengubahan format KBM, yang saya menyebutnya dengan istilah 'pendidikan darurat'.
Asumsi yang dibangun dalam tulisan ini adalah bagaimana kita berempati dengan ikut memperhatikan nasib ribuan anak sekolah dasar (SD) sampai sekolah lanjutan (SMP/SMU) yang kini menderita akibat bencana. Mulai dalam bencana Wasior, Mentawai, hingga Merapi, banyak bangunan sekolah rusak dan buku serta sarana belajar lainnya juga hancur. Mereka tidak bisa belajar karena harus ikut mengungsi bersama orang tua mereka. Belum jelas bagaimana kelanjutan pendidikan mereka karena situasinya amat buruk dan nyaris tidak tertangani dengan baik.
Banyak anak yang tidak tahu lagi mesti belajar di sekolah mana, dan apakah sekolah yang ada bisa menampung mereka dalam kondisi morat-marit di area pengungsian yang sejauh ini masih di bawah terpal darurat dan tenda-tenda sementara. Di sinilah pentingnya memikirkan alternatif untuk mencegah agar anak-anak sekolah di kawasan bencana tidak menjadi generasi yang hilang dengan membangun pendidikan darurat. Pendidikan darurat itu penting untuk memberikan pelajaran dan pendidikan yang layak, apalagi bagi mereka yang masih harus menyelesaikan pendidikan sembilan tahun.

Pendidikan darurat
Dalam pengamatan saya, ada tiga pengertian apa yang dimaksud dengan pendidikan darurat. Pertama, mengacu ke tempat atau ruang belajar sebagai sarana fisik untuk menyelenggarakan pendidikan. Artinya, selama masih dalam situasi awas atau darurat di lokasi pengungsian, untuk melangsungkan KBM tidak perlu menunggu tegaknya bangunan gedung sekolah baru, tapi cukup memanfaatkan tenda-tenda pengungsi sebagai ruang KBM. Selain tenda-tenda, bangunan rumah milik warga yang masih layak pakai dapat pula digunakan sebagai ruang belajar sementara.
Kedua, memanfaatkan partisipasi guru dari para relawan, yang walaupun mereka mungkin sebenarnya tidak menyandang sebagai guru (dalam arti formal), lewat kemampuan dan predikat mahasiswa, misalnya, dapatlah diperbantukan untuk mendukung KBM bagi anak-anak sekolah korban bencana. Proses pembelajaran itu sangat penting, terutama bagi para relawan, yang barangkali merupakan pengalaman baru dalam mengajar, yang itu pasti bermanfaat di kemudian hari.
Ketiga, materi KBM tidak mesti mengacu ke kurikulum pembelajaran formal, tapi lebih dititikberatkan pada aspek-aspek sekunder, seperti bermain sambil belajar. Peran guru sangat menentukan untuk mendukung program ini. Harry K Wong dan Rosemary T Wong dalam How to be an Effective Teacher: The First Days of School (2005) menyebutkan setidaknya ada tiga ciri guru efektif, yaitu memiliki ekspektasi positif terhadap kesuksesan siswa, manajer kelas yang andal, dan mengetahui cara merancang pelajaran untuk dikuasi siswa.
Jadi, tanpa mengurangi substansi belajar, unsur permainan dalam proses KBM bagi anak-anak korban bencana perlu diprioritaskan. Hal itu penting dilakukan untuk memberikan hiburan bagi anak-anak korban bencana, yang barangkali masih dihantui rasa trauma. Aspek-aspek pembelajaran formal bisa diselipkan pada pola permainan yang sedang berlangsung.
Misalnya, seorang guru menyelenggarakan semacam audisi menyanyi untuk anak didiknya dengan mengambil tema lingkungan dan alam semesta. Lagu The Earth Song Michael Jackson sangat boleh jadi akan menjadi media belajar yang sangat efektif untuk memperkenalkan alam dengan cara bernyanyi dan menerjemahkan lirik lagu tersebut. Ini artinya dibutuhan kreativitas dari para guru dan relawan untuk mengintegrasikan nyanyian (bernyanyi) ke dalam mata ajar yang ada seperti geografi, biologi, dan agama. Dengan demikian, sekolah dalam kondisi itu sesungguhnya berubah menjadi tempat belajar yang mengasyikkan bagi anak. Sudah tentu, sangat berbeda jauh dengan situasi sekolah dalam keadaan normal sebelum bencana, yang lebih didominasi aturan-aturan ketat, mengacu ke diktat, dan cenderung mengurangiĆ¢€”-untuk tidak mengatakan 'menghilangkan' kekhasan anak-anak yang memang lebih menyukai bermain daripada tekanan psikologis belajar secara serius.
Pendidikan, dalam arti sekolah, sejatinya tidak menghilangkan masa-masa kebahagiaan anak yang karakteristiknya suka bermain. Apalagi, menurut sejarah, sekolah berasal dari bahasa Latin skole, scola, atau scolae, yang berarti 'waktu luang' atau 'waktu senggang'. Artinya, sekolah adalah 'waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar' (FA Agus Wahyudi, dalam Majalah Basis, Nomor 07-08, Juli-Agustus 2006). Pemahaman ini berbanding terbalik dengan fakta di lapangan, yang tidak memberikan 'waktu luang' bagi anak untuk bermain bersama teman-teman sejawatnya. Singkatnya, konstruksi pemikiran masyarakat modern saat ini menjadikan pendidikan nomor satu, sementara bermain (dengan segala karakteristik dan kekhasan anak) dinomorduakan atau bahkan di nomor urut berikutnya. Karena itu, yang dikedepankan dalam aktivitas KBM di tengah situasi bencana adalah mengembalikan peran sekolah ke khitahnya, yang berorientasi pada-Ć¢€”meminjam istilah Paulo Freire--memanusiakan manusia (humanizing human being). Memang, pola penanganan pendidikan untuk anak-anak korban bencana membutuhkan ide-ide kreatif-taktis dari para penyelenggara pendidikan, baik diknas maupun pemda setempat untuk tetap memberikan hak dan kewajiban anak belajar, sebagaimana diatur UUD 1945 dan UU Sisdiknas.

Realisasi kurikulum kebencanaan
Untuk jangka panjang, sekolah perlu membangun pembiasaan menghadapi bencana, mulai gempa bumi, tsunami, kebakaran, hingga kerusuhan. Lewat pendidikan, masyarakat perlu disadarkan bahwa daerah yang kita tempati saat sekarang rawan bencana, terutama bencana alam geologi. Menurut para ahli, posisi Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik dunia, yaitu lempeng Australia di selatan, lempeng Euro-Asia di bagian barat, dan lempeng Samudra Pasifik di bagian timur.
Karena itu, setiap warga negara, termasuk siswa, mesti tahu bagaimana bisa meloloskan diri secara tepat supaya tidak menambah korban jiwa karena bencana. Jadi ke depan, kegiatan pengurangan risiko bencana yang dimandatkan Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana harus terintegrasi ke dalam program pembangunan, termasuk sektor pendidikan. Ditegaskan pula dalam undang-undang tersebut bahwa pendidikan menjadi salah satu faktor penentu dalam kegiatan pengurangan risiko bencana.
Kita menunggu realisasi kurikulum kebencanaan yang sudah disiapkan Kemendiknas. Pasalnya, pemerintah menargetkan segera merealisasikan kurikulum pendidikan kebencanaan pada 2011. Kurikulum tersebut akan difokuskan pada sekolah-sekolah yang rawan mengalami bencana. Isi modul pendidikan kebencanaan tidak akan dimasukkan ke satu pelajaran, tetapi diintegrasikan ke beberapa pelajaran, seperti geografi, agama, dan bahasa Indonesia (Kompas, 5/11/2010).
Konsekuensinya jika setiap orang harus mengambil peran dalam kegiatan pengurangan risiko bencana, sekolah dan komunitas di dalamnya juga harus memulai mengenalkan materi-materi tentang kebencanaan sebagai bagian dari aktivitas pendidikan keseharian. Usaha meningkatkan kesadaran adanya kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana di dunia pendidikan harus dilaksakanakan baik pada taraf penentu kebijakan maupun pelaksana pendidikan di pusat dan daerah. Jadi, seluruh tingkatan diharapkan memiliki pemahaman yang sama akan perlunya pendidikan kesiapsiagaan bencana tersebut. Semoga.

0 komentar:

Posting Komentar