“ Bolehkah Guru Menghukum Murid ?” Pertanyaan yang sering diperebatkan/didiskusikan pendidik di ruang guru. Dari kesimpulan sekaligus merupakan jawaban atas pertanyaan memperbolehkan guru menghukum peserta didiknya asalkan dengan bijaksana. Hukuman bijaksana dimaksud di atas adalah tidak menerapkan hukuman fisik pada daerah organ-organ penting (dada, perut, dan kepala). Oke, penulis sangat setuju dengan pendapat tersebut.
UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 menyebutkan “ Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara .”
Sehubungan dengan tujuan pendidikan sebagaimana terungkap di atas yakni untuk mengembangkan potensi kognitif, sikap dan keterampilan peserta didik maka pendidik/tenaga kependidikan memikul tanggung jawab untuk membimbing, mengajar dan melatih murid atas dasar norma-norma yang berlaku baik norma agama, adat, hukum, ilmu dan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Untuk mewujudkan tujuan itu perlu ditanamkan sikap disiplin, tanggung jawab, berani mawas diri, beriman dan lain-lain. Hukuman pun sering diterima siswa manakala mereka melanggar tata tertib yang telah disepakati. Hukuman itu dimaksudkan sebagai upaya mendisiplinkan siswa terhadap peraturan yang berlaku. Sebab, dengan sadar pendidik memegang prinsip bahwa disiplin itu merupakan kunci sukses hari depan. Apakah bentuk-bentuk hukuman bisa dikembangkan untuk mendisiplinkan siswa? Pertanyaan seperti inilah menjadi dilema bagi kaum pendidik dalam mengemban kewajiban dan tanggung jawabnya.
Apabila sanksi hukuman sama sekali tidak diadakan niscaya perilaku siswa akan lebih semrawut. Kita bisa menduga-duga, ada penerapan hukuman saja siswa yang melanggar masih banyak, apalagi jika sanksi hukuman ditiadakan. Tambah ruwet. Jika hukuman itu diadakan menuntut konsekuensi bagi para pendidik itu sendiri. Maksudnya, pendidik harus benar-benar bisa sebagai suri tauladan bagi anak didiknya. Penerapan aturan hukuman bagi para siswa yang melanggar tetapi tidak diikuti kedisiplinan pendidik , bagaikan halilintar, banyak yang menyepelekan.
Hukuman itu wajar tetapi hendaknya bersifat mendidik. Maksudnya dengan adanya hukuman siswa menjadi tahu / faham tentang kesalahan yang dilakukannya, tanpa merampas “ batas kemanusiaannya.” Dengan kata lain hukuman dari pendidik kepada peserta didik harus bersifat mendidik. Jadi hukuman harus ada relasi dengan pengetahuan, pengembangan mental, disiplin, sifat kemanusiaan, kemandirian dan ketidakragu-raguan. Misalnya hukuman menghafalkan pembukaan UUD 1945, membuat puisi, menambah jumlah soal PR, membuat cerpen tentang siswa terhukum dan lain-lain. Pendeknya hukuman itu ada gunanya bagi pengembangan wawasan, kreativitas, kesadaran siswa yang terhukum. Bukan sebaliknya seperti yang acap terjadi hukuman hukuman bersifat menjerakan, menyusahkan dan meninggalkan rasa jengkel, tidak puas dan menambah rasa benci siswa terhadap pendidiknya ( pemberi hukuman itu ).
Tokoh pendidik Ki Hajar Dewantara ( Majalah Wasito Edisi 08 Jilid I 1929 ) mengemukakan pendapatnya bahwa dalam memberikan hukuman kepada anak didik, seorang pendidik harus memperhatikan 3 macam aturan. Pertama, hukuman harus selaras dengan kesalahan. Misalnya, kesalahannya memecah kaca hukumnya mengganti kaca yang pecah itu saja. Tidak perlu ada tambahan tempeleng atau hujatan yang menyakitkan hati. Jika datangnya terlambat 5 menit maka pulangnya ditambah 5 menit. Itu namanya selaras. Bukan datang terlambat 5 menit kok hukumannya mengintari lapangan sekolah 5 kali misalnya. Relasi apa yang ada di sini ? Itu namanya hukumn penyiksaan.
Kedua, hukuman harus adil. Adil harus berdasarkan atas rasa obyektif, tidak memihak salah satu dan membuang perasaan subyektif. Misalnya siswa yang lain membersihkan ruangan kelas kok ada siswa yang hanya duduk – duduk sambil bernyanyi-nyanyi tak ikut bekerja. Maka
hukumannya supaya ikut bekerja sesuai dengan teman-temannya dengan waktu ditambah sama dengan keterlambatannya tanpa memandang siswa mana yang melakukannya.
Ketiga, hukuman harus lekas dijatuhkan. Hal ini bertujuan agar siswa segera paham hubungan dari kesalahannya. Pendidik pun harus jelas menunjukkan pelanggaran yang diperbuat siswa. Dengan harapan siswa segera tahu dan sadar mempersiapkan perbaikannya. Pendidik tidak diperkenankan asal memberi hukuman sehingga siswa bingung menanggapinya.
Itulah wasiat Ki Hajar Dewantara yang dapat digunakan sebagai pedoman dan pertimbangan para guru / kepala sekolah yang sering mengangkat dirinya berfungsi ganda. Pertama berfungsi sebagai polisi, kemudian jaksa dan sekaligus sebagai hakim di sekolahnya. Guru/kepala sekolah memang mempunyai superioritas yang tinggi terhadap siswanya. Tidak heran akhirnya bak raja di atas tahta,segala perintah, siswa dipaksa menerima dan menurut. Kesuperioritasannya boleh lestari asalkan tidak merugikan anak didik. Hal itulah menuntut pendidik bersifat bijak , sehingga hukuman tak boleh semena-mena terhadap anak didik.
Psikologis anak perlu sentuhan yang halus , lentur dan manis sehingga bisa membuat sensivitas perasaannya terasah normal. Hukuman terhadap siswa harus berlandaskan keseimbangan. Misalnya dari strata paling rendah, siswa yang nakal dibina dulu oleh wali kelas . Apabila masih belum bisa ditolerir dikenakan hukuman skorsing tidak boleh mengikuti kegiatan sekolah. Sedangkan hukuman di strata puncak jika memang sekolah tidak mampu membina lagi, kembalikan kepada orang tuanya.
UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 menyebutkan “ Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara .”
Sehubungan dengan tujuan pendidikan sebagaimana terungkap di atas yakni untuk mengembangkan potensi kognitif, sikap dan keterampilan peserta didik maka pendidik/tenaga kependidikan memikul tanggung jawab untuk membimbing, mengajar dan melatih murid atas dasar norma-norma yang berlaku baik norma agama, adat, hukum, ilmu dan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Untuk mewujudkan tujuan itu perlu ditanamkan sikap disiplin, tanggung jawab, berani mawas diri, beriman dan lain-lain. Hukuman pun sering diterima siswa manakala mereka melanggar tata tertib yang telah disepakati. Hukuman itu dimaksudkan sebagai upaya mendisiplinkan siswa terhadap peraturan yang berlaku. Sebab, dengan sadar pendidik memegang prinsip bahwa disiplin itu merupakan kunci sukses hari depan. Apakah bentuk-bentuk hukuman bisa dikembangkan untuk mendisiplinkan siswa? Pertanyaan seperti inilah menjadi dilema bagi kaum pendidik dalam mengemban kewajiban dan tanggung jawabnya.
Apabila sanksi hukuman sama sekali tidak diadakan niscaya perilaku siswa akan lebih semrawut. Kita bisa menduga-duga, ada penerapan hukuman saja siswa yang melanggar masih banyak, apalagi jika sanksi hukuman ditiadakan. Tambah ruwet. Jika hukuman itu diadakan menuntut konsekuensi bagi para pendidik itu sendiri. Maksudnya, pendidik harus benar-benar bisa sebagai suri tauladan bagi anak didiknya. Penerapan aturan hukuman bagi para siswa yang melanggar tetapi tidak diikuti kedisiplinan pendidik , bagaikan halilintar, banyak yang menyepelekan.
Hukuman itu wajar tetapi hendaknya bersifat mendidik. Maksudnya dengan adanya hukuman siswa menjadi tahu / faham tentang kesalahan yang dilakukannya, tanpa merampas “ batas kemanusiaannya.” Dengan kata lain hukuman dari pendidik kepada peserta didik harus bersifat mendidik. Jadi hukuman harus ada relasi dengan pengetahuan, pengembangan mental, disiplin, sifat kemanusiaan, kemandirian dan ketidakragu-raguan. Misalnya hukuman menghafalkan pembukaan UUD 1945, membuat puisi, menambah jumlah soal PR, membuat cerpen tentang siswa terhukum dan lain-lain. Pendeknya hukuman itu ada gunanya bagi pengembangan wawasan, kreativitas, kesadaran siswa yang terhukum. Bukan sebaliknya seperti yang acap terjadi hukuman hukuman bersifat menjerakan, menyusahkan dan meninggalkan rasa jengkel, tidak puas dan menambah rasa benci siswa terhadap pendidiknya ( pemberi hukuman itu ).
Tokoh pendidik Ki Hajar Dewantara ( Majalah Wasito Edisi 08 Jilid I 1929 ) mengemukakan pendapatnya bahwa dalam memberikan hukuman kepada anak didik, seorang pendidik harus memperhatikan 3 macam aturan. Pertama, hukuman harus selaras dengan kesalahan. Misalnya, kesalahannya memecah kaca hukumnya mengganti kaca yang pecah itu saja. Tidak perlu ada tambahan tempeleng atau hujatan yang menyakitkan hati. Jika datangnya terlambat 5 menit maka pulangnya ditambah 5 menit. Itu namanya selaras. Bukan datang terlambat 5 menit kok hukumannya mengintari lapangan sekolah 5 kali misalnya. Relasi apa yang ada di sini ? Itu namanya hukumn penyiksaan.
Kedua, hukuman harus adil. Adil harus berdasarkan atas rasa obyektif, tidak memihak salah satu dan membuang perasaan subyektif. Misalnya siswa yang lain membersihkan ruangan kelas kok ada siswa yang hanya duduk – duduk sambil bernyanyi-nyanyi tak ikut bekerja. Maka
hukumannya supaya ikut bekerja sesuai dengan teman-temannya dengan waktu ditambah sama dengan keterlambatannya tanpa memandang siswa mana yang melakukannya.
Ketiga, hukuman harus lekas dijatuhkan. Hal ini bertujuan agar siswa segera paham hubungan dari kesalahannya. Pendidik pun harus jelas menunjukkan pelanggaran yang diperbuat siswa. Dengan harapan siswa segera tahu dan sadar mempersiapkan perbaikannya. Pendidik tidak diperkenankan asal memberi hukuman sehingga siswa bingung menanggapinya.
Itulah wasiat Ki Hajar Dewantara yang dapat digunakan sebagai pedoman dan pertimbangan para guru / kepala sekolah yang sering mengangkat dirinya berfungsi ganda. Pertama berfungsi sebagai polisi, kemudian jaksa dan sekaligus sebagai hakim di sekolahnya. Guru/kepala sekolah memang mempunyai superioritas yang tinggi terhadap siswanya. Tidak heran akhirnya bak raja di atas tahta,segala perintah, siswa dipaksa menerima dan menurut. Kesuperioritasannya boleh lestari asalkan tidak merugikan anak didik. Hal itulah menuntut pendidik bersifat bijak , sehingga hukuman tak boleh semena-mena terhadap anak didik.
Psikologis anak perlu sentuhan yang halus , lentur dan manis sehingga bisa membuat sensivitas perasaannya terasah normal. Hukuman terhadap siswa harus berlandaskan keseimbangan. Misalnya dari strata paling rendah, siswa yang nakal dibina dulu oleh wali kelas . Apabila masih belum bisa ditolerir dikenakan hukuman skorsing tidak boleh mengikuti kegiatan sekolah. Sedangkan hukuman di strata puncak jika memang sekolah tidak mampu membina lagi, kembalikan kepada orang tuanya.
2 komentar:
hukuman ,peringatan atau apalah namanya menurut saya memang perlu dan itu menang harus diawali di dalam lingkungan yg paling kecil yaitu keluarga, yg dilakukan oleh ibu atau ayah dan jika pelanggarannya berat bisa dilakukan ibu dan ayah...bagaimana jika pelanggaran dilakukan di sekolah? saya setuju dg tulisan diatas namun... satu hal yg perlu diperhatikan adalah , dalam menangani /memberikan hukuman walaupun dg kesalahan yg sama kita pendidik tidak bisa memberikan hukuman yg sama selain perlu adanya pendekatan penanganannyapun juga harus berbeda jika tujuannya adalah untuk perbaikan,karena setiap anak mempunyai sifat dan karakteristik yg berbeda beda...dan harusnya memang semua guru di indonesia juga menguasai ilmu psycology...jadi tdk boleh kita sok berkuasa dan menguasai anak ....karena, halah sudah laah dowoneee..
salam semangat "inge"
Hehehee.... I Like This, Inge..! Memang, pendidikan bukanlah sesuatu yang diperoleh seseorang, Tapi pendidikan adalah sebuah proses seumur hidup. Itulah hakekat dari pembelajaran di dunia pendidikan.
Posting Komentar